Logo Bunga Lily

Di Antara Luka
yang Tak Bertepuk

“Yang tak sempat dimengerti.”

⟵ Back To Archive

Aku bersalah.
Itu tak perlu kau ulang.
Dadaku sudah lebih dulu mengakuinya,
bahkan sebelum mulutmu melontarkannya.

Aku tahu,
aku telah mengecewakanmu.
Membuat retak di dinding yang kita bangun bersama.
Tapi sejak saat itu,
aku berusaha mencabut duri duri dari langkahku.
Menjahit ulang caraku mencintai, mengiris bagian buruk dari diriku,
demi sesuatu yang bisa kau peluk kembali, tanpa ragu.

Aku bukan hanya meminta maaf.
Aku berusaha berubah. Mati-matian.
Sendirian. Dalam diam.
Tanpa panggung.

Tetapi;
mengapa tetap kau lihat aku, dari kesalahanku?
Bukan dari usaha yang kubayar dengan air mata dan sepi?
Mengapa kesalahanku jadi senjata yang kau simpan?
Untuk digunakan setiap kali kau tak ingin melihatku,
Menyentuhku, menggenggamku, memelukku?

Aku hanya ingin dimengerti, bukan dibenarkan.
Dipeluk, bukan dijatuhi dakwaan.

Engkau,
Menjadi palu yang menghantam dadaku.
Bukan atap yang melindungi saat hujan di dalam diriku,
Tak tahu lagi ke mana harus mencari teduh.

Engkau,
Menjadi tangga yang jatuh saat aku terjerembab,
Menjadi tanya yang tak kunjung kau jawab,
Menjadi jarak yang tak bisa kuukur dengan rindu semata.

Dan aku terdiam,
Menjadi sunyi yang menampung teriakku sendiri,
Menjadi tisu bagi tangisku sendiri,
Menjadi rumah yang hangus oleh api,
Yang tak pernah kau padamkan

Aku tahu aku bersalah,
Tapi bukan berarti aku tak layak untuk dimanusiakan.
Bukan berarti aku hanya pantas dimarahi, dihakimi,
Dan tak diberi ruang untuk diperbaiki, dikasihi, disayangi.

Aku bukan dinding,
Yang kau jadikan tempat memukul semua kecewa.
Aku pun butuh disentuh, dimaafkan, dihargai,
Dan dibaca; laksana puisi yang tak ingin diakhiri.

Di luar sana,
Satu per satu mimpiku mulai tumbang.
Dan setiap kegagalan itu, kian menundukkan punggung dan lututku.
Dan ketika aku pulang padamu, bukan untuk meminta solusi,
Hanya untuk ditanya: “Kamu baik-baik saja sayang?”, "Tak apa, ada aku disini sayang"
"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu selalu punya aku, sayang."
Tetapi, engkau terdiam.
Atau bahkan, menambah luka baru.
Seolah-olah aku masih harus membayar kesalahan
Yang pernah kulunasi dengan seluruh harga diri.

Aku sedang rapuh. Sedang terjatuh.
Sedang kehilangan pijakan.
Dan saat satu-satunya tempatku pulang,
Justru menjadi ruang penghakiman.
Aku tak lagi tahu; di mana aku bisa menangis,
Tanpa dianggap lemah.

Aku mencintaimu.
Dengan versi yang belum sempurna,
Tapi tak pernah malas untuk belajar.
Aku mencintaimu,
Dengan dada yang terbuka,
Meski kadang disayat kata-kata.

Tapi aku bertanya,
Bukankah cinta juga butuh empati?
Bukankah mencinta bukan sekadar mengingat kesalahan,
Tapi juga melihat bagaimana seseorang belajar jadi lebih baik,
Meski hancur dalam prosesnya?

Aku bukan ingin kamu melupakan salahku,
Aku hanya ingin kamu lihat aku kini;
Yang lebih lembut dalam menatapmu,
Lebih hati-hati dalam bertutur,
Lebih sadar bahwa cinta bukan tentang ingin dimenangkan,
Tapi saling memeluk walau sama-sama pecah.

Leave an Anonymous Message